Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata :
Pengertian Islam secara umum adalah beribadah kepada Allah dengan
syari’at-Nya sejak masa Allah mengutus para Rasul hingga tegaknya hari
kiamat. Pengertian Islam inilah yang dimaksud oleh Allah dalam banyak
ayat yang menunjukkan bahwa syari’at-syari’at terdahulu semuanya juga
disebut berislam kepada Allah ‘azza wa jalla, seperti firman Allah yang
menceritakan tentang Ibrahim (yang artinya), “Wahai Rabb kami jadikanlah
kami berdua orang yang muslim kepada-Mu dan juga anak keturunan Kami
sebagai umat yang muslim kepada-Mu.” (QS. Al-Baqarah : 128).
Adapun Islam dalam pengertian yang lebih
khusus semenjak pengutusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
hanya mencakup agama yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Hal itu disebabkan agama yang beliau ajarkan menjadi penghapus
seluruh agama terdahulu. Sehingga siapa saja (orang sesudah beliau) yang
mengikuti beliau menjadi orang muslim dan siapa saja yang menentang
beliau maka dia bukanlah muslim. Maka para pengikut rasul terdahulu
adalah orang muslim di masa rasul mereka. Orang Yahudi adalah kaum
muslimin di masa Musa ‘alaihis salam. Begitu pula orang Nasrani adalah
kaum muslimin di masa Isa ‘alaihis salam. Adapun ketika Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus kemudian mereka mengingkari
risalah beliau maka mereka bukan lagi kaum muslimin.
Agama Islam dalam pengertian inilah agama yang sekarang diterima di
sisi Allah dan akan bermanfaat bagi pemeluknya. Allah ‘azza wa jalla
berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah
hanyalah Islam.” (QS. Ali-’Imraan : 19). Dan Allah juga berfirman (yang
artinya), “Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak
akan diterima darinya dan di akhirat dia akan termasuk golongan yang
menderita kerugian.” (QS. Ali-’Imraan : 85). Seperti inilah keislaman
yang dianugerahkan Allah kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
beserta umatnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),”Pada hari ini
Aku telah sempurnakan bagimu agamamu dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku
atasmu. Dan Aku pun ridha Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al-Maa’idah :
3). (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 20-21)
Islam mencakup 3 tingkatan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi
malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jati
dirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan kepada
beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai
pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu
kesempatan Rasulullah bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob,
“Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?”. Maka Umar
menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun bersabda,
“Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk
mengajarkan agama kalian” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah mengatakan : Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil
bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama
(Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini
mencakup 3 tingkatan; Islam, iman dan ihsan.
Tingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu engkau bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Allah dan bahwasanya
Muhammad adalah utusan Allah, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat,
berpuasa Romadhon dan berhaji ke Baitullah jika engkau mampu untuk
menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan :
Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu
terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang
dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat,
sholat, puasa, zakat dan haji.
Tingkatan Iman
Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu
ialah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
para Rasul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar;
yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup
perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
mengatakan : Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah
pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya
disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan
amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan
amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah
satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya.
Seperti dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan Aku telah ridho
Islam menjadi agama kalian” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini
sudah mencakup islam dan iman.. (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).
Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah
engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah)
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin
menjelaskan : Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah
penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan
ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia
melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini
adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa
mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua
yaitu : menyembah Allah dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas
dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu
tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika
kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21).
Bagaimana mengkompromikan ketiga istilah ini ?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan yang maknanya,
bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila
ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau
dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas
daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus
daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka
di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam.
Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan
orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih
istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain..(lihat At Tauhid li
shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Shalih Fauzan, hlm. 63).
Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa
setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman
sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan
amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti
mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak
meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan
amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya
muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna.
Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Orang-orang
Arab Badui itu mengatakan : Kami telah beriman. Katakanlah : Kalian
belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan : Kami telah berislam”
(Al Hujuraat : 14). Dengan demikian, jelaslah sudah bahwasanya agama
ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih
tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian
tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih
tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At Tauhid li shoffil awwal al
‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64).
Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa
sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Selesai disusun ulang pada sore
hari Ahad, 16 Dzulhijjah 1429 H
No comments:
Post a Comment